Senin, 19 Maret 2012

WANITA HAID DAN AL-QURAN

DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH MAHA PENYAYANG

Assalamu'alaikum wr.wb


Apakah Al Qur’an boleh disentuh oleh wanita yang sedang “Haid” ?

Sebelum pertanyaan itu dijawab ada baiknya kita mengingat kembali sejarah turunnya Al Qur’an itu sendiri. Kita semua tentu sudah mengetahui bahwa Al Qur’an turun ayat demi ayat yang setelah selesai masa turunnya itu kemudian dihafal oleh para sahabat-sahabat nabi dan seluruh pengikutnya pada saat itu. Pada waktu itu Al Qur’an belum menjadi sebuah kitab yang kita kenal sekarang ini. Barulah pada zaman pemerintahan khalifah Abu bakar - itupun 
atas saran dari Umar - ada gagasan untuk membukukan Al Qur’an yang dikarenakan rasa takut atas gugurnya para sahabat yang hafal Al Qur’an.

Jadi, dari sekilas sejarah itu bisa kita ambil satu kenyataan bahwa Al Qur’an pada saat itu bukanlah suatu benda yang berupa sebuah kitab, walau kita tidak memungkiri bahwa ada lembaran-lembaran yang disimpan oleh istri Nabi dan sahabat lainnya yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an. Dan Al Qur’an yang baru ditulis pada waktu itu, juga baru satu buah. Baru setelah sepeninggalan Abu Bakar, Al Qur’an yang ada satu itu di duplikat menjadi beberapa buah lagi. Intinya pada waktu itu Al Qur’an hanyalah berupa hapalan didalam kepala, bukan sebuah Kitab.

Kita memang mengakui bahwa Al Qur’an itu adalah sebuah kitab suci. Tapi sayangnya umat kita ini tidak sepenuhnya menyadari bahwa yang “suci” itu bukanlah bentuknya itu. Dan kita terlalu takut untuk mengakui bahwa yang suci itu adalah “apa yang terkandung didalamnya” bukan jasad dari kitab itu sendiri. Hingga kita akan teringat akan nubuat Nabi kita sendiri, “Akan datang disuatu zaman nanti, Al Qur’an hanya akan menjadi sebuah pajangan”. Dari titik itulah umat kita harus waspada, karena nubuat itu kini sudah terasa dizaman ini. Bagaimana tidak ? Kita tak usah menutup mata, kita lihat saja sekarang, Al Qur’an sudah dijadikan sebuah “Mahar” yang notabene hanya menjadi suatu benda sakral untuk memperingati hari pernikahan. Setelah itu nasibnya tidak lebih sama dengan benda yang tersimpan disebuah museum, lebih parahnya kalau benda yang ada di museum akan terawat, sedangkan “mahar” itu sendiri kini menyendiri disudut rumah kita. Kita tak perlu malu untuk mengakui kadang-kadang yang memberikan “mahar” itu sendiri tidak bisa membacanya, apalagi untuk membahas apa yang “terkandung” didalamnya. Dan sekarang ini bisa disurvei oleh kita sendiri, kebanyakan pita yang berada ditengah “mahar” itu hampir tidak berubah-rubah posisinya, selalu diam disurat nomor 36. Karena siapa yang tidak tahu kalau disebut surat urutan ke 36 itu, coba kita tanya “surat nomor 35, surat apa namanya ?”, kita juga masih harus meraba-raba melihat indexnya, padahal urutan nomor tersebut hanya tetanggaan bukan ?. Catat itu sebagai gambaran.

Dari sekian yang telah terjadi itu, apa yang akan terjadi nanti ?, tidak lain umat kita akan menjadi umat yang bodoh dan hanya taqlid dengan apa yang ia dengar dari gurunya tanpa ia mau mengecek kembali “warisan” yang Nabinya tinggalkan kepada kita. Tidak ada gairah lagi untuk menyentuhnya ... membukanya ... membacanya, ... apalagi mengkaji kandungannya. Apa sih yang membuat umat ini jadi demikian ? tidak lain karena ulah para ulama kita sendiri yang memberikan pelajaran :
1. Berwudhu dahulu sebelum memegangnya !!!
2. Cari tempat yang bersih !!!
3. Menghadap Qiblat apabila membacanya !!!
4. Terlarang menyentuh dan membacanya kalau sedang berhadas apalagi sedang Haid !!!

Kita harus ingat, bahwa empat macam aturan itulah yang membuat umat ini semakin jauh dari “nya”. Persis seperti apa yang dikatakan para “misionaris” kristen pada bangsa ini. “Untuk membuat orang Islam menjadi kristen, bukanlah memaksa mereka berpindah agama, tapi cukuplah kita buat mereka jauh dari kitabnya”. Bukanlah saya ingin mengkritik apa yang telah terjadi sekarang ini, tapi sungguh lebih dari itu semua, karena kita tentunya ingin supaya misi itu jangan sampai terjadi.

Sesungguhnya, empat point tentang ajaran itu, sudah tertolak oleh Al Qur’an itu sendiri, tapi untuk mempersingkat tulisan ini, saya akan membahas point ke empat saja, yaitu terlarangkah menyentuh dan membaca Al Qur’an apabila sedang haid ?.

Tidak !, kenapa begitu ? Ingatlah ! semua hukum yang ada didalam agama Islam bukan bikinan seorang ulama, - walau ia terkenal sekalipun- atau guru-guru kita. Coba kita lihat surat An Nisa : 59, “... apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu hal, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan RasulNya ...” , maka kita lihat adakah ayat di Al Qur’an yang membahas masalah Haid ?, coba lihat Al Baqoroh : 222. Adakah disitu menerangkan tentang terlarangnya wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an dan membacanya. Kalau memang tidak ada, mengapa sih kita jauh-jauh membuat aturan yang tidak ada asalnya ?, Tapi mengapa u mat ini selalu membantah saja, apabila diterangkan hukum ini ada di ayat ini, yah karena mereka hanya mengikuti agama ini dari faktor keturunan saja, “apa yang dikatakan guru saya, pasti benar adanya”. Coba perhatikan lagi surat Al Ahzab : 36. disana mungkin akan lebih jelas lagi. Jangan kita balik bertanya “Di Al Qur’an tidak ada menerangkan masalah bacaan pada saat ruku’ ?”. Pertanyaan serperti itu tidak mendidik, malah membuat bingung generasi yang sedang mengkaji Ilmu. Kalau pertanyaan seperti itu bagus, tentunya akan banyak pertanyaan yang sebagus itu, contahnya “Sholat Isya empat raka’at juga tidak diterangkan di Al Qur’an”.

Marilah kita benahi kembali buku-buku yang telah kita baca hingga menjadikan kita tahu dari ketidak tahuan kita. Kita cek kembali, apakah hukum-hukum yang selama ini dijadikan dalil untuk hukum agama ini dari Allah dan Nabinya, atau keluar dari ucapan seorang ulama saja ?

Sesungguhnya, sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan selurus-lurus petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek urusan, adalah sesuatu yang di ada-adakan, dan setiap yang diada-adakan itu adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah adalah sesat.

Mengapa ada Ulama yang berpendapat bahwa wanita yang berhaid tidak boleh menyentuh dan membaca Al Qur’an ?

Karena, ulama tersebut berfikiran bahwa Al Qur’an itu kitab suci, maka orang yang ingin menyentuh dan membacanyapun harus dalam keadaan suci. Catat ! ini hanya pendapat ulama, yang mana pendapat itu masih bisa ditolak sebelum pendapat itu berlandaskan Al Qur’an atau Hadits. Lalu ada sebagian ulama lagi bersandar pada surat (56) Al Waqi’ah : 79 yang artinya : tidaklah tersentuh Al Qur’an ini kecuali oleh orang-orang yang suci. Para ulama itu berpendapat bahwa yang boleh menyentuh Al Qur’an hanyalah orang yang suci, baik dari hadats atau lainnya.

Kalau kita memperhatikan pendapat tersebut, maka akan ditemukan kejanggalan-kejanggalan, karena pendapat itu mempersulit tiap diri untuk bertinteraksi dengan Al Qur’an, bayangkan kalau ada seseorang yang sedang membaca Al Qur’an kemudian ditengah waktu itu (maaf) buang angin, maka tentulah ia akan berhenti dulu untuk selanjutnya mengambil wudhu lagi. Dan itu semua akan membuat orang menjadi malas, sebab -mungkin- tempat air wudhunya jauh atau sebab lainnya. Kedua, apabila dijalan kita menemukan Al Qur’an tergelatak di tengah jalan yang sepi, apakah harus kita berwudhu dulu untuk memungutnya ?. 

Bagi wanita haid juga begitu ?, sungguh pendapat itu sangat merendahkan martabat muslimah -secara tidak sadar- yang ingin membaca Al Qur’an. Para muslimah yang sedang haid dianggap kotor hingga ia tidak boleh menyentuh dan membacanya. Padahal Al Qur’an sendiri mengatakan, bahwa yang kotor itu adalah darah haidnya, bukan wanitanya. Kalaupun ada yang besikukuh pendapat bahwa wanita itu sedang kotor, niscaya para suami didunia ini akan menempatkan tempat tidur yang terpisah untuk istrinya apabila ia sedang haid.

Menurut Al Qur’an dan hadits -tanpa ada pendapat ulama- larangan wanita yang sedang haid hanyalah : sholat, shaum, tawaf, dan bersetubuh. Sekiranya ada yang melebihkannya, boleh kita tanya dari mana asalnya ! Sebab apabila ada satu hukum saja yang dibuat tanpa ada dasar dari Allah dan RasulNya, niscaya hukum itu adalah hukum buatan manusia, dan perlu diingat Islam bukan agama yang dibuat oleh manusia walau ia seorang ulama “legendaris” sekalipun.

Menilik sedikit ke sejarah di zaman Nabi, belum pernah kita temukan satu riwayatpun yang menerangkan apabila pada waktu turun wahyu kepada Nabi, maka nabi repot-repot dahulu berwudhu. Atau ketika selesai wahyu itu turun, maka Nabi memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk berwudhu dahulu sebelum mereka menuliskannya. Bisa dibandingkan, lebih hebat mana sewaktu wahyu itu turun dengan pada saat sekarang ini, ketika kita hanya membaca duplikatnya saja. Tentulah pada saat turunnya itu yang lebih hebat. Kalau begitu mengapa kita harus repot-repot membuat dalil untuk bersuci dahulu ketika hendak menyentuhnya sedangkan waktu turunnya wahyu itu sendiri Nabi dan sahabatnya sendiri tidak repot ?. Dan sekiranya ada satu hadits yang memerintahkan “bersuci dahulu sebelum menyentuhnya”, pastilah hadits itu palsu. Karena bagaimana mungkin Nabi memerintahkan hal bersuci untuk menyentuh Al Qur’an, padahal pada saat itu Al Qur’an belum berbentuk Kitab yang bisa kita lihat sekarang ini, bahkan Al Qur’an itu sendiri belum selesai diwahyukan kepadanya. Dan bisa dilihat sendiri bahwa di Al Qur’an ada perintah mengenai bersuci adalah pada saat hendak sholat, di surat (5) Al Maidah : 6, dan surat (4) An Nisa : 43

Terakhir yang harus menjadi perhatian buat kita, dampak apa yang akan terjadi sekiranya wanita yang haid itu dilarang untuk menyentuh Al Qur’an ?, Pasti jawabannya adalah membuat bodoh kaum wanita itu sendiri, wanita akan menjadi malas untuk membacanya kembali. Dan yang lebih parah lagi, Al Qur’an nantinya akan menjadi barang yang paling “suci” didunia ini, dan tidak akan pernah “disentuh” oleh manusia, karena ada hukumnya sangat merepotkan. Hal ini persis seperti apa yang pernah di nubuatkan oleh Nabi sendiri, bahwa pada suatu zaman nanti Al Qur’an akan menjadi sebuah pajangan saja. Lebih dari itu semoga “misi” dari pada misionaris Ahli Kitab saat ini hampir menjadi kenyataan, yaitu “untuk membuat orang Islam menjadi Kristen bukanlah memaksa mereka untuk pindah agama, tetapi cukup dengan membuat mereka jauh dari kitabnya”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar